• Endi Supriyanto, Jurnalis
Lintas-7.com - Banten. Indonesia merupakan Negara yang kaya akan budaya dan tradisinya, tak terkecuali kuliner khas di daerah-daerah. Banten, khususnya di wilayah Serang, ada kuliner yang populer dan memiliki nilai historis yakni Rabeg.
Rabeg adalah masakan tradisional yang berasal dari perpaduan bumbu khas Jazirah Arab dan Banten, yang terbuat dari daging kambing yang memakai bumbu sederhana. Rasanya gurih dan tidak terlalu berbahaya untuk yang menderita kolesterol karena makanan khas Jawa Serang ini tidak memakai santan dalam proses pengolahannya.
Masakan yang identik dengan bahan utama daging kambing ini menjadi kuliner yang banyak dan mudah ditemukan. Bahkan sering dijumpai pada acara tertentu, seperti pernikahan atau khitanan. Daging yang biasa digunakan untuk mengolah Rabeg ini adalah daging kambing. Menurut sejarah, Rabeg adalah masakan yang digemari oleh Sultan Maulana, Kesultanan Banten.
Sepintas makanan ini terlihat seperti tengkleng atau tongseng karena dibuat tanpa menggunakan santan, namun rasa dan aroma Rabeg cenderung lebih kuat.
Resep masakan khas berbahan dasar daging kambing itu akhirnya bocor ke masyarakat, dan menjadi sajian populer yang wajib hadir di setiap perhelatan.
Nama Rabigh pun melekat pada masakan itu. Seiring berjalannya waktu, penyebutan rabigh pun berubah menjadi rabeg seperti sekarang.
Rabeg merupakan masakan berbahan dasar daging dan berkuah seperti semur. meskipun sama-sama berkuah rabeg tetap berbeda dengan semur yang memiliki cita rasa manis dari kecap ditambah gurihnya bawang putih.
Rabeg memiliki cita rasa pedas dengan bumbu dasar bawang merah, bawang putih dan lada.
Asal Usul Rabeg
Rabeg tidak akan pernah ada di Banten jika Sultan Maulana Hasanuddin tidak pergi ke tanah Arab untuk menunaikan ibadah haji. Sultan Maulana adalah anak sulung dari Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon yang memiliki gelar Pangeran Sabakinking saat memerintah Kesultanan Banten dari tahun 1552 hingga 1570.
Sultan Maulana mengunjungi Arab Saudi dan tiba bersama rombongan di pelabuhan Kota Rabigh, yang terletak di sepanjang pantai Laut Merah, selama berjam-jam. Saat menikmati keindahan Kota Rabigh, Sultan Maulana sering mencicipi hidangan daging kambing setempat. Setelah kembali dari Arab, ia meminta juru masaknya untuk menciptakan hidangan daging kambing yang mengingatkannya pada kenangan tersebut. Inilah yang memunculkan Rabeg sebagai hidangan yang disukai oleh Sultan Maulana.
Sejak saat itu, hidangan ala Rabigh menjadi wajib hadir di Istana Kesultanan Banten. Hidangan itu pun dinamai Rabigh, dan seiring berjalannya waktu, resep Rabigh menyebar ke seluruh Banten. Masyarakat pun ikut menyukai hidangan favorit sultan mereka, dan istilah "rabigh" pun berubah menjadi "rabeg" seperti yang kita kenal saat ini.