• Tim. Lintas-7.com
Lintas-7.com - Jakarta. Masih banyak umat muslim yang salah dalam memahami makna membayar fidyah. Mereka menganggap bahwa apabila sudah membayar fidyah, maka utang puasa Ramadan telah lunas. Padahal, hukum ini hanya dibenarkan bagi orang-orang yang tidak mungkin membayar utang puasa (qada) di kemudian hari.
Orang tua renta atau orang sakit parah yang hidupnya bergantung pada obat. Sementara, wanita hamil dan/atau menyusui atau orang sakit yang masih bisa sembuh, tetap memiliki kewajiban untuk mengqada puasanya di lain waktu alih-alih membayar fidyah saja.
Siapa saja golongan orang yang boleh membayar fidyah saja tanpa harus mengqada puasanya? Apakah ibu hamil dan/atau menyusui tidak termasuk? Atau mereka justru wajib membayar fidyah dan mengqada puasanya di kemudian hari?
Orang yang Boleh Bayar Fidyah Saja, Tidak Wajib Qada Puasa
Pada dasarnya, Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin dan penuh kasih. Salah satu bentuk kasih sayang dalam Islam adalah Allah tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuan. Termasuk dalam kewajiban berpuasa di bulan Ramadan.
Orang-orang tua (lansia) yang secara fisik sudah lemah dan tidak mampu menjalankan puasa, tidak diwajibkan untuk berpuasa. Sebagai gantinya, mereka diwajibkan membayar fidyah untuk orang miskin sejumlah hari puasa yang ditinggalkan. Dan, mereka tidak diwajibkan untuk mengqada puasa tersebut. Sebab makin tua seseorang, maka makin lemah pula fisiknya.
Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt dalam surah Al-Baqarah:
“…dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
(QS. al-Baqarah: 184)
Selain orang tua renta, golongan orang yang boleh membayar fidyah saja tanpa harus mengqada puasa di kemudian hari adalah orang sakit. Orang sakit di sini adalah mereka yang tidak memiliki potensi atau sulit untuk kembali sembuh. Contohnya, seorang yang mengidap penyakit kritis dan hidupnya bergantung pada obat-obatan. Mereka diperbolehkan untuk membayar fidyah saja, karena kemungkinan tidak memiliki kesempatan untuk mengqada puasa di kemudian hari.
Hukum Bayar Fidyah pada Wanita Hamil dan/atau Menyusui
Para ulama berbeda pendapat dalam hal menetapkan hukum bagi wanita hamil dan/atau menyusui, antara membayar fidyah saja, atau mengqada puasa saja, atau wajib melaksanakan keduanya. Berikut pendapat dari empat mazhab terkait hal ini:
Mazhab Maliki
Mazhab ini berpendapat bahwa wanita hamil dan/atau menyusui yang khawatir pada kondisi dirinya sendiri, atau khawatir pada kondisi anaknya, atau khawatir pada kondisi keduanya, boleh tidak berpuasa. Namun, wanita hamil dan/atau menyusui tersebut wajib mengqada puasanya di luar bulan Ramadan.
Menurut mazhab Maliki, wanita hamil tidak wajib membayar fidyah, namun wajib mengqada puasanya. Sementara, wanita menyusui wajib membayar fidyah dan mengqada puasanya.
Mazhab Hanafi
Mazhab ini berpendapat bahwa wanita hamil dan/atau menyusui yang khawatir pada kondisi dirinya sendiri, atau kondisi anaknya, atau kondisi keduanya, diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Konsekuensinya, wanita hamil dan/atau menyusui tersebut wajib mengqada puasa di luar bulan Ramadan dan tidak wajib baginya membayar fidyah.
Mazhab Hambali
Mazhab ini berpendapat bahwa wanita hamil dan/atau menyusui yang khawatir pada kondisi dirinya sendiri, atau kondisi anaknya, atau kondisi keduanya, diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan. Konsekuensinya, wanita hamil dan/atau menyusui yang khawatir pada dirinya sendiri, atau khawatir pada kondisi dirinya dan anaknya, ia wajib mengqada puasanya, namun tidak wajib membayar fidyah. Sementara, bagi wanita hamil dan/atau menyusui yang hanya khawatir pada kondisi anaknya saja, ia wajib mengqada puasa sekaligus membayar fidyah.
Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wanita hamil dan/atau menyusui yang khawatir pada kondisi dirinya sendiri, atau kondisi anaknya, atau kondisi keduanya, diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan. Konsekuensi bagi wanita hamil dan/atau menyusui yang khawatir pada kondisi dirinya sendiri, atau kondisi dirinya dan anaknya, maka ia wajib mengqada puasa sejumlah hari yang ditinggalkan. Sementara, bagi wanita hamil dan/atau menyusui yang hanya khawatir pada kondisi anaknya saja, konsekuensinya adalah wajib mengqada puasa sekaligus membayar fidyah sejumlah hari yang ditinggalkan.
Berdasarkan pendapat empat mazhab, semuanya sepakat bahwa apabila wanita hamil dan/atau menyusui khawatir akan timbulnya mudharat bila menjalankan puasa, dan mudharat itu lebih ditujukan kepada dirinya sendiri, seperti kekhawatiran akan sakit, maka diperbolehkan untuk tidak menjalankan puasa, tetapi diwajibkan untuk mengqada puasa. Namun, apabila kekhawatiran itu lebih ditujukan kepada anaknya saja, maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa, tetapi wajib mengqada puasa dan membayar fidyah.
Jumhur Ulama Soal Bayar Fidyah oleh Wanita Hamil dan Menyusui
Berdasarkan jumhur atau pendapat sebagian besar ulama, wanita hamil dan/atau menyusui wajib membayar fidyah dan mengqada puasa, apabila mereka tidak berpuasa karena khawatir terhadap kondisi atau keselataman anaknya saja. Sementara, apabila mereka mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri, atau kondisi diri sendiri dan anaknya, maka mereka boleh tidak berpuasa dan hanya wajib mengqada puasa saja.
Pendapat yang Membolehkan Ibu Hamil Bayar Fidyah Saja
Ulama besar dan intelektual muslim Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa wanita hamil dan/atau menyusui boleh membayar fidyah saja tanpa harus mengqada puasa di lain hari apabila ia tidak berpuasa di bulan Ramadan. Hukum ini berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan/atau menyusui yang kemungkinan tidak memiliki kesempatan untuk mengqadhanya. Misalnya, seorang perempuan menjalani masa kehamilan, lalu menyusui, dan siklus ini terjadi berulang (setelah hamil dan melahirkan, tak lama setelahnya hamil kembali).
Demikian, hal-hal yang diwajibkan bagi seorang wanita hamil dan/atau menyusui jika ia tidak memiliki kesempatan mengqada puasanya di lain hari. Apabila keduanya dibebebani mengqada puasa, itu akan terasa berat karena mereka diwajibkan berpuasa selama beberapa tahun berturut-turut setalah masa hamil dan menyusui selesai.
Kesimpulan
Secara garis besar, para ulama mengambil illat hukum bagi wanita hamil dan/atau menyusui diqiyaskan seperti orang sakit dan orang yang tidak mampu menjalankan puasa. Mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa, karena berpotensi mendatangkan mudharat pada dirinya sendiri dan juga anaknya. Hal ini tentu dilarang oleh agama, karena Islam tidak akan membebani umat muslim.
Namun demikian, sebagian ulama juga mengambil illat hukum orang hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa diibaratkan seperti orang yang berat menjalankan puasa. Jika begini, ibu hamil dan menyusui boleh hanya membayar fidyah saja tanpa mengqada puasa. Sebagaimana firman Allah Swt:
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin.”
(QS. al-Baqarah: 185)
Wallahu a’lam bishawab… Dengan mempelajari ketentuan membayar fidyah dan mengqada puasa pada ibu hamil dan menyusui di atas, Sahabat bisa menyesuaikannya dengan kondisi yang sedang dialami. Semoga Allah merahmati dan memberi hidayah kepada kita untuk melakukan hal yang benar.