Lintas-7.com - Jakarta. Prabowo mengusulkan agar pesta demokrasi untuk memilih DPRD saja. Setelah itu, DPRD yang nanti akan memilih gubernur hingga bupati.
Dalam sambutannya pada puncak Perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024, Prabowo mengusulkan agar pesta demokrasi untuk memilih DPRD saja.
"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati," kata Ketua Umum Partai Gerindra.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem Titi Anggraini menilai, pemilihan kepala daerah atau gubernur melalui DPRD berpotensi menimbulkan tindak kesewenang-wenangan elite partai, karena tidak melibatkan aspirasi masyarakat.
Meski begitu, Titi tidak menampik pemilihan gubernur oleh DPRD dapat menawarkan proses yang lebih mudah dan efisien. Namun, kata Titi, hasil pemimpin yang diputuskan hanya berbasis terhadap kesepakatan eksklusif para elite partai tanpa mengakomodasi suara dan harapan masyarakat.
"Bisa memutus mata rantai aspirasi publik dan menimbulkan kesewenang-wenangan elite,” kata Titi saat dihubungi melalui WhatsApp, pada Ahad, 1 Desember 2024.
Dalam pelaksanaan pemilihan gubernur dengan dipilih oleh rakyat, kata dia, juga masih ditemukan keputusan pencalonan yang berbeda dengan konstituen partai.
“Apalagi kalau diambil alih sepenuhnya oleh wakil partai di DPRD,” ujarnya.
Menurut dia, pelaksanaan pemilihan gubernur secara langsung maupun melalui pemerintah berpotensi terjadinya politik uang. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada pemberian uang atau material yang diberikan kepada anggota DPRD.
"Mestinya yang dibenahi adalah pengaturan dan penegakan hukumnya. Bukan dengan serta merta mengubah sistem,” kata dia.
Titi menuturkan, selama penegakan hukum masih lemah dan perilaku koruptif masih terbiarkan, apapun mekanisme pemilihannya pasti akan bermasalah.
Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia itu juga menegaskan jika budaya tersebut dibiarkan dapat memicu ketidakpercayaan dan ketidakpuasan publik terhadap kepemimpinan yang dibentuk sehingga berpotensi mengganggu kondusifitas pemerintahan daerah.
"Yang terjadi malah bisa makin mengokohkan oligarki dan hegemoni elite,” tuturnya.
Agus Dzajuli
Editor. Firman Alamsyah