Lintas-7. Bogor. Pertama kali terbayang saat menyebut nama Agus Salim adalah sosok seorang yang tua, berpeci, berkaca mata bulat, berkumis panjang dan berjenggot putih. Agus Salim, lahir dengan nama Masyudul Haq yang berarti “pembela kebenaran” pada 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat.
Anak jaksa itu termasuk salah satu dari segelintir anak pribumi yang dapat mengenyam pendidikan elit kolonial Hogere Burger School (HBS) dengan predikat lulusan terbaik. Setelah lulus Agus Salim mengajukan beasiswa kedokteran pada pemerintah Belanda.
Namun, pengajuannya ditolak. Sebenarnya Agus Salim bisa saja berangkat ke Belanda dengan bantuan R.A Kartini. Saat itu R.A Kartini baru saja memperoleh beasiswa untuk belajar di Belanda, tetapi tidak bisa digunakan karena ia harus menikah. Agar tak sia-sia R.A Kartini berupaya mengalihkannya pada seseorang yang tak lain adalah Agus Salim. Namun Agus Salim menolak karena ia merasa beasiswa itu bukan haknya.
Pada akhirnya selepas kelulusan di HBS Agus Salim bekerja sebagai staf konsulat Belanda di Jeddah. Berkat dorongan ayahnya dan setelah mendapat surat keterangan persamaan status dengan warga negara Belanda. Selama empat puluh tahun di Jeddah, Agus Salim mendapat kesempatan belajar agama dengan pamannya sendiri yaitu, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Imam Masjidil Haram.
Sepulang dari Jeddah ke Indonesia selain membawa ilmu agama yang diperoleh dari pamannya, Agus Salim juga membawa ilmu barat dan timur dari buku-buku yang ia baca saat berada di Jeddah. Pemikirannya diwarnai dengan filsafat-filsafat barat dan gerakan reformis yang digagas oleh Syekh Jamaluddin Al-Afghani dilanjutkan muridnya Muhammad Abduh dan Rasyd Ridha.
Ia masuk dalam pergerakan nasional lewat Sarekat Islam setelah mengenal Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto, kemudian masuk dalam Jong Islamieten Bond, dan Gerakan Penyadar. Karena menyadari betapa pentingnya menyebarkan pemikirannya kepada massa, Agus Salim juga menjalankan profesinya sebagai jurnalis ia menjadi redaktur Nerajta.
Perjuangan Agus Salim berlanjut. Demi kepentingan rakyat, ia masuk Volksraad (Dewan rakyat bentukan Belanda) dari 1921-1924. Sejak itu Volkstraad semakin tidak kooperatif dengan pemerintahan Hindia Belanda.
Hingga sampai pada era kemerdekaan Agus Salim ikut serta dalam merumuskan UUD 1945 bersama 18 orang yang dipimpin oleh Ir. Sukarno. Terutama, jasa yang paling penting dari Agus Salim adalah pada misi diplomasinya yang berpangkal pada perjanjian persahabatan dengan Mesir pada tahun 1947.
Kecerdikannya dalam berdiplomasi itu berlanjut saat ia menjadi menteri luar negeri pada masa Kabinet Sjahrir, Kabinet Amir Sjarifuddin, dan Kabinet Hatta.
Sosok H. Agus Salim adalah sang diplomat ulung Indonesia, juga menguasai dengan fasih sembilan bahasa asing. Inilah yang membuat ia dijuluki “The Grand Old Man” di kalangan para tokoh perjuangan bangsa. H. Agus Salim dikenal dengan pribadi yang pantang menyerah, rela hidup melarat demi menjunjung tinggi prinsip dan memegang teguh idealisme. Sikap hidup yang jarang kita temui di tengah masyarakat yang terjebak pragmatisme dan hedonisme.
Editor. Adi Djunaidi