-->
  • Jelajahi

    Copyright © LINTAS-7
    Lintas-7

    Menu Bawah

    Iklan

    Fenomena Gagal Dilantik Jadi Anggota DPR

    lintas-7
    17 October 2024, 13:04 WIB Last Updated 2024-10-17T06:22:01Z

    Lintas-7.com - Meski memiliki suara terbanyak dalam pemilu legislatif, calon anggota DPR belum tentu bisa dilantik secara resmi menjadi anggota DPR. Ada fenomena yang aneh yang terjadi dalam Pemilu Legislatif 2024 ini, yakni mereka yang meraih suara terbanyak tidak jadi dilantik dengan berbagai alasan, dipecat, atau mengundurkan diri.

    Bila ada calon yang mengundurkan diri, calon peraih suara yang suara sah di bawahnya otomatis akan menggantikannya. Dan, kali ini di dapil itu ada sosok Arteria Dahlan. Sosok yang sangat vokal di Komisi III DPR ini mampu meraih suara 62.242 suara. Namun disebut juga mengundurkan diri. Jatah kursi dari PDIP di dapil itu pun akhirnya jatuh ke tangan Romy Soekarno yang hanya meraih suara sah sebesar 51.245 suara.

    Hal demikian terjadi di banyak partai seperti misalnya di PDIP, Gerindra, Nasdem, dan PKB. Di PDIP misalnya, caleg PDIP Dapil VI Jawa Timur, Sri Rahayu, seharusnya bisa melenggang sebab meski sebagai peraih suara terbanyak kedua di partainya namun suara yang didapat 126.787 suara sah. Suara itu sangat lebih untuk mampu mengantarkan dirinya berkantor di Senayan. Namun disebut dirinya mengundurkan diri.

    Apa yang terjadi Jawa Timur itu juga menimpa di Dapil I Banten, di mana peraih suara terbanyak Tia Rahmania diganti oleh peraih suara kedua terbanyak, Bonnie Triyana. Pergantian ini disebut disebabkan karena Tia dipecat oleh partainya, PDIP. Di PKB, jumlah anggota yang diganti menjelang dilantik juga ada. Mereka peraih suara terbanyak diganti dengan alasan di antaranya tidak memenuhi syarat sebagai anggota DPR.

    Pastinya pergantian yang terbilang mendadak itu menimbulkan rasa kecewa hingga menuntut ke jalur hukum atas pemecatan dan/atau tuduhan pencurian suara. Lalu, apa sebenarnya penyebab pergantian mendadak itu sehingga menimbulkan kegaduhan politik di dalam partai?

    Pertama, akibat sistem pemilu proporsional terbuka. Dalam aturan yang ada, sistem ini disebut pemilih dapat mencoblos partai politik ataupun calon legislatif (caleg) yang dikenal atau disukai. Pemilih dapat langsung memilih caleg yang ada tanpa melihat nomer urutnya. Sistem yang demikian juga dikenal sebagai sistem coblos caleg.

    Akibat yang demikian, persaingan untuk pemilu legislatif tidak hanya dengan calon dari partai lain namun juga rekan sendiri. Semua berlomba-lomba untuk meraih suara tertinggi. Sistem yang demikian membuat masing-masing calon jor-joran dalam kampanye. Mereka tidak hanya habis-habisan mengunjungi konstituen atau pemilih namun juga menyediakan logistik pendukungnya yang melimpah.

    Faktor popularitas dan jor-joran waktu serta logistik inilah yang terkadang membuat calon yang nomer satu di surat suara kalah dengan nomer-nomer di bawahnya. Di sinilah kadang yang senior kalah dengan yang junior atau orang baru di partai. Dari sinilah selanjutnya muncul tuduhan seperti junior melangkahi senior, mencuri suara, money politic, dan alasan-alasan lainnya. Bau feodal muncul dalam proses selanjutya.

    Kedua, faktor kedekatan dengan pengurus pusat partai politik. Kalau kita lihat pergantian mendadak tersebut, juga tidak terlepas dari faktor kedekatan dengan pengurus pusat partai politik. Disebut ada pergantian itu dilandasi karena calon yang sebenarnya tidak jadi, jauh suaranya, karena ada pertalian darah dengan elite partai, trah partai.

    Tak hanya itu, kedekatan person per person calon dengan pengurus pusat juga bisa mempengaruhi seseorang bisa lanjut atau tidak bagi si calon untuk dilantik. Dari faktor ini, orang-orang pilihan pengurus pusat atau dewan pengurus pusat bila tidak terpilih akan diupayakan untuk tetap jadi dilantik dengan cara menyuruh mundur peraih suara terbanyak bila peraih suara terbanyak dianggap 'tidak penting' bagi partai politik tersebut.

    Faktor inilah kelak membuat calon was-was bila maju dalam pemilu legislatif sebab mereka yang memenangi perolehan suara namun tidak memiliki pertalian darah atau dekat dengan pengurus pusat. Sistem terbuka yang seharusnya mampu bertindak demokratis, adil, dan bagi mereka yang bekerja keras mendekati rakyat, akan menjadi sia-sia karena adanya penjegalan karena faktor pertalian darah dan kedekatan dengan pengurus pusat partai.

    Ketiga, konflik internal partai. Konflik internal partai juga bisa membuat partai mengganti calon peraih suara terbanyak dengan calon yang lainnya. Ini bisa dilakukan karena calon peraih suara terbanyak dianggap mewakili kelompok lain yang dianggap tak sejalan dengan kepentingan pengurus pusat atau ketua umum. Di sini ada conflict of interest antara peraih suara terbanyak dengan pengurus pusat partai atau ketua umum partai.

    Belajar dari masalah yang ada, jalan untuk menjadi anggota DPR hingga DPRD semakin panjang dan melelahkan, tak hanya bagaimana calon harus bisa meraih suara tertinggi namun juga harus kenal baik dengan pengurus pusat, tak ada masalah pribadi, dan bila perlu memiliki garis keturunan dengan trah partai. Faktor-faktor ini sama pentingnya dengan meraih suara terbanyak; terbukti meski suara tak cukup, bisa dilantik menjadi anggota sebab memiliki garis keturunan dengan trah partai.

    Editor. Tim Lintas-7.com

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini